Perusahaan Sekelas Apakah yang Berkewajiban Mengeluarkan Dana CSR
Rabu, 02 November 2011 16:24 WIB
Tanya:
Bapak Rizky Wisnoentoro yang terhormat, saya ingin tahu tentang kewajiban CSR dari sebuah perusahaan. Pertanyaannya adalah:
Bapak Rizky Wisnoentoro yang terhormat, saya ingin tahu tentang kewajiban CSR dari sebuah perusahaan. Pertanyaannya adalah:
- Perusahaan kelas apa yang berkewajiban mengeluarkan dana csr.
- Jika ada perusahaan skala menengah bawah tapi mengekploitasi alam besar-besaran bahkan cenderung merusak misal penggalian pasir, penggalian batu kapur dll, apakah juga wajib mengeluarkan dana csr?"
Terimakasih
(Suratmi - Depok)
Jawab:
Assalamu'alaikum,
Assalamu'alaikum,
Ibu Suratmi yang budiman.
Terima kasih untuk pertanyaannya yang cerdas. Secara umum, menurut
hemat saya, perusahaan seperti yang dicontohkan dalam pertanyaan
tersebut wajib melakukan CSR. Lebih lanjut lagi, ada beberapa topik
penting dari pertanyaan ini yang dapat kita bedah:
1). "Perusahaan berkewajiban melakukan CSR".
Ini adalah poin diskusi yang cukup menarik dan tak akan ada habisnya.
Di tataran legal, Undang-Undang No. 40/2007 tentang Perseroan Terbatas
(Pasal 74) mewajibkan perusahaan di Indonesia untuk melakukan CSR. Lebih
khususlagi, dalam ayat 1 Undang Undang tersebut, disebutkan bahwa
perseroanyang menjalankan usahanya di bidang dan atau berkaitan
dengansumberdaya alam, dikenai kewajiban untuk melaksanakan kegiatan
tanggung jawab sosial perusahaan dan lingkungan.
Dalam pertanyaan dicontohkan perusahaan yang aktivitasnya melakukan
penggalian pasir, batu kapur, dll. Menurut Undang-Undang, mereka wajib
untuk melakukan CSR. Nah, permasalahannya kemudian adalah, "lalu
bagaimana dengan yang lain? Apakah CSR hanya terbatas untuk perusahaan
yang terkait sumberdaya alam saja?" Di titik ini, kita tidak dapat hanya
bersandar pada undang-undang semata. Marilah kita berpijak pada urgensi
dan manfaat dari CSR itu sendiri. Seperti pernah didiskusikan
sebelumnya, tanpa harus diwajibkan pun, pada dasarnya perusahaan
membutuhkan CSR. Mereka yang telah sadar akan pentingnya reputasi tak
akan lagi berpikir untuk menjalankan CSR sebatas untuk memenuhi
peraturan. Karena salah satu manfaat utama dari CSR ialah bahwa ia
berpotensi untuk menjadi solusi bagi permasalahan yang kerap terjadi
dalam hubungan antara perusahaan dengan publiknya: ketidakmampuan untuk
saling memahami dan menerima. Permasalahan ini mengakibatkan macetnya
relung interaksi antara perusahaan dengan publiknya.
Alhasil, terjadi segregasi yang ditandai oleh penolakan publik. Di
titik inilah CSR berperan menjadi jembatan antara perusahaan dengan
stakeholder di sekitarnya. Penerapan program yang baik akan menimbulkan
keterkaitan yang konstruktif antara perusahaan dengan lingkungan. Hal
ini dapat menjadi trigger bagi publik untuk memiliki persepsi yang baik
terhadap perusahaan. Dengan demikian, emotional appeal dari publik akan
mengarah pada pembangunan reputasi yang baik terhadap perusahaan itu
sendiri. Sebaliknya, publik pun mendapat bantuan yang 'sincere' atau
tulus dari perusahaan. Nah, di sinilah uniknya CSR. Publik kini cukup
cerdas untuk menyeleksi program-program artifisial yang hanya mengharap
pamrih semata.
Ketidakseriusan dalam menggarap program CSR justru akan melahirkan
resistensi masyarakat. Apalagi jika perusahaan dinilai tidak transparan,
atau justru program tersebut malah merusak tatanan pranata sosial
maupun lingkungan yang ada. Alih-alih mendapatkan nama baik, perusahaan
justru harus menelan pil pahit dari programnya itu. Alhasil, dana pun
terbuang mubazir tanpa membawa manfaat dan maslahat.
2) "Perusahaan dalam kelas apa yang wajib ber CSR?".
Ini satu lagi poin cerdas dari pertanyaan ini. Dalam pemahaman saya,
tidak ada batasan yang rigid mengenai perusahaan di kelas apakah yang
harus ber CSR. Tetapi kalau kita melihat esensi pada poin pertama di
atas, seyogianya setiap perusahaan yang telah memiliki laba, menerapkan
program CSR. Nah, di titik ini marilah kita sedikit menerawang lebih
luas, bahwa program CSR tidak melulu hanya ditujukan pada publik
eksternal dari perusahaan. Lingkungan internal pun perlu mendapat
perhatian.
Pelayanan child care untuk karyawati yang menyusui, misalnya, dapat
menjadi sebuah contoh sederhana untuk program CSR secara internal.
Program motivasi karyawan untuk bekerja sesuai dengan rambu-rambu etis,
dalam konteks tertentu juga dapat dijadikan sebagai alternatif program
CSR. Atau, kampanye 'go green' di dalam lingkungan kantor, dapat pula
menjadi alternatif program CSR. Dengan demikian, semestinya tidak ada
alasan bagi perusahaan untuk tidak ber CSR.
Perusahaan dengan laba yang masih terbilang minim, misalnya, dapat
memulai dengan program kreatif yang sederhana tetapi serius. Menurut
hemat saya, terlepas dari besar kecilnya dana, tantangan yang terpenting
adalah komitmen dalam menggarap program itu sendiri. Sehingga, tak
tertutup kemungkinan bahwa program dengan dana terbatas pun dapat
menghasilkan kualitas lebih baik dibandingkan program dengan kucuran
dana besar tetapi tidak dilakukan dengan monitoring yang serius.
3) "Perusahaan yang mengeksploitasi & merusak".
Nah, izinkan saya untuk berpendapat bahwa perusahaan yang semacam ini
tak hanya wajib melakukan CSR, tetapi justru wajib untuk melakukan
introspeksi diri atas praktek bisnis yang mereka lakukan. Karena praktek
seperti ini justru menempatkan mereka dalam posisi yang sangat rentan
untuk terancam oleh berbagai bentuk risiko, termasuk risiko reputasi.
Dalam pemahaman saya, perusahaan yang baik boleh jadi mementingkan
proses memproduksi barang / jasa, lalu mendapatkan keuntungan dari
produksinya itu.
Namun perusahaan yang bajik akan melakukan lebih dari itu. Mereka
tidak hanya sekedar meraih laba, tetapi juga menunjukkan komitmen yang
baik terhadap stakeholder di sekitarnya, internal maupun eksternal,
serta lingkungan hidup tempat mereka berdiam. Saya angkat topi terhadap
perusahaan seperti ini. Mereka tidak hanya mementingkan profit jangka
pendek, tetapi juga menunjukkan komitmen untuk melanjutkan usahanya di
jangka panjang. Perusahaan seperti ini telah menyadari bahwa dirinya
adalah bagian dari keseluruhan bangunan sosial yang ada di daerah
tersebut.
Dengan memberikan perhatian serius pada lingkungan, maka berarti
mereka telah melakukan investasi terpenting bagi keberlangsungan bisnis
ke depan. Ketika mereka berbagi pada lingkungan internal, akan tumbuh
'admiration' dari karyawan. Di saat krisis, justru hal ini akan menolong
perusahaan. Karyawan yang kagum dan loyal dengan perusahaannya, tentu
tak akan sungkan untuk membela nama baik dari tempatnya mencari nafkah
hidup. Demikian pula dengan lingkungan sosial di luar perusahaan.
Pemberian dan pendampingan yang tulus dari perusahaan
merepresentasikan wujud syukur serta rasa terima kasih perusahaan
setelah mendapat rejeki. Publik yang menerima program yang tulus
tersebut tentu tak akan sungkan untuk menerima kehadiran dari perusahaan
tersebut. Bahkan tak jarang, justru mereka membantu kebutuhan
perusahaan. Sebaliknya, perusahaan yang dinilai 'arogan', atau bahkan
merusak, justru berpotensi untuk menerima penolakan publik. Oleh karena
itu, menurut hemat saya, bertanggung jawab secara ekonomi ataupun hukum
(legal) tidaklah cukup bagi perusahaan.
Dengan kata lain, saat ini kualitas perusahaan tak hanya dinilai dari
sekedar kemampuannya menggaji karyawan serta taat hukum semata. Lebih
dari itu, kualitas perusahaan akan diuji dari kebajikannya dalam
menerapkan praktek bisnis yang etis dan menunjukkan kecintaan pada
sesama manusia serta pada lingkungan tempatnya berdiam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar