Jumat, 23 Maret 2012

CSR Harus tepat pada sasaran




Penggunaan Dana CSR Harus Tepat Sasaran


2011-07-28 11:18:00
108CSR.com - 'CSR Harus Tepat Sasaran�, itulah kalimat yang pertama kali diucapkan Rika Yudani, seorang praktisi muda di bidang CSR yang ditemui tim 108CSR.com, di Jakarta, belum lama ini.

Rika mengatakan CSR (corporate social responsibility) atau tanggung jawab sosial perusahaan yang di masukan ke dalam salah satu undang-undang Penanganan Fakir Miskin  akhir-akhir ini menjadi sebuah isu yang menarik perhatian di kalangan pebisnis nasional maupun mulitinasional. Pasalnya,  UU ini juga memuat perubahan paradigma baru dalam penggunaan dana CSR yang lebih mengarah kepada sebatas  tuntutan  tanggung jawab sosial dunia usaha.

Padahal, mewajibkan pelaksanaan CSR seakan memisahkan CSR dari esensinya, yaitu Voluntary. The World Business Council for Sustainable Development mendefinisikan CSR sebagai � The cotinuing commitment by business to behave ethically and contribute to economic development while improvingthe quality of life of the workforce and their families as well as of the local community and society at large�. Artinya, pelaksanaan CSR merupakan murni komitmen perusahan untuk bertindak etis, dan tidak bisa diwajibkan.

�Ini yang membuat kalangan praktisi dan perusahan mempermasalahkan status wajib CSR. Bahkan, kewajiban atas setoran dana CSR dapat dikatagorikan sebagai bentuk �abuse of power�  dan menyalahi konsep yang berlaku secara internasional. "Karena faktanya, Indonesia adalah salah satu-satunya negara yang mewajibkan pelaksanaan CSR,� ujar Rika  yang juga bekerja sebagai Research Executive di EC-Think Corp.

Menurut Putri kelahiran Yogyakarta ini,  sebetulnya pelaksanaan CSR sendiri tidak perlu diwajibkan tetapi harus tepat sasaran. Permasalahnnya, hingga saat ini belum ada database yang lengkap tentang implemantasi program-program CSR di seluruh wilayah Indonesia.

Ia memaparkan, bahwa tepat sasaran di dalam arti penyaluran dana CSR dapat mengadopsi konsep koridor ekonomi dalam MP3EI, yaitu berupa  pemetaan wilayah kemiskinan yang belum tersentuh, sehingga penanganannya dapat lebih fokus dan terukur.

Rika menjelaskan di dalam MP3EI terdapat masterplan yang sudah tercantum potensi masing-masing wilayah. Program CSR, seperti dukungan pada enterpreunership, dapat difokuskan untuk memperkuat potensi wilayah, sehingga output-nya lebih maksimal.

Adapun masing-masing koridor tersebut  sebagai berikut, koridor pertama, wilayah Sumatera memiliki tema pembangunan sebagai sentra produksi dan pengolahan hasil bumi serta lumbung energi Nasional.

Koridor kedua, wilayah Jawa memiliki tema pembangunan sebagai pendorong industri dan jasa Nasional. Selanjutnya koridor ketiga, wilayah Kalimantan memiliki tema pembangunan sebagai pusat produksi dan pengolahan hasil tambang & lumbung Energi Nasional.

Koridor keempat, wilayah Sulawesi memiliki tema pembangunan sebagai pusat produksi dan pengolahan hasil pertanian, perkebunan, perikanan, migas dan pertambangan Nasional. Koridor ke enam, Bali � Nusa Tenggara memiliki tema pembangunan sebagai pintu gerbang pariwisata dan pendukung pangan Nasional dan koridor ke tujuh adalah  Papua � Kepulauan Maluku memiliki tema pembangunan sebagai pusat pengembangan pangan, perikanan, energi, dan Pertambangan Nasional.

Dalam kesempatan itu, Mahasiswi Magister Management CSR Universitas Trisakti ini, juga mempertanyakan �Keinginan� pemerintah melabeli alokasi CSR sebagai kewajiban.

Dikatakannya, dua peraturan perundang-undangan RI sebelumnya sudah menekankan secara ekplisit kewajiban pelaksanaan CSR kepada perusahaan, pertama yaitu UU No 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dengan Pasal 15-nya yang menyebutkan bahwa setiap Penanaman Modal berkewajiban untuk (a) menerapkan tata kelola perusahaan yang baik, (b) melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan.

Dan kedua, UU No 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, yang dalam Pasal 74 (1) mengatakan bahwa Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan.

�Bagaiman pemerintah akan mempertanggung jawabkan UU Pasal 34, bahwa fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara,  komitmen pelaksanaan CSR dari perusahan tentu saja tidak dapat melepaskan pemerintah dari kewajiban itu bukan,� ujarnya lagi.

Ditegaskanya, pencantuman kewajiban dana CSR dalam aturan hukum justru akan mereduksi niat baik dan komitmen berkelanjutan dari pelaku usaha, dikhawatirkan pelaksanaan CSR hanya akan dimaknai terbatas dan berdasarkan jumlah nominal saja.

�Perusahan pun dikhawatirkan  dapat menggunakan aturan ini sebagai legitimasi pelaksanaan CSR meraka, tanpa adanya upaya lebih jauh berkontribusi secara berkelanjutan baik secara ekonomi, sosial dan lingkungan,� tuturnya mengakhiri. (ard/lni)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar