Jumat, 23 Maret 2012

CSR






Pewajiban CSR dalam Undang-Undang Perseroan
Terbatas
etelah berita Departemen Sosial hendak meregulasi CSR (corporate social
responsibility atau tanggung jawab sosial perusahaan) muncul di media massa
beberapa minggu lalu, tindakan yang lebih nyata ditunjukkan oleh DPR terlebih
dahulu. Di akhir minggu terakhir Juni mereka menyetujui sinkronisasi UU Perseroan
Terbatas yang di dalamnya terdapat aturan mengenai CSR. Walau UU itu tidak
menyatakan besaran sisihan dana yang diwajibkan, segera saja reaksi dari dunia usaha
muncul. Para pengusaha, yang diwakili KADIN menyatakan bahwa CSR seharusnya
bersifat kesukarelaan, bukan kewajiban. Pendirian tersebut memang merupakan
pendirian arus utama hingga sekarang, namun bukan satu-satunya pendirian yang
ada. Tulisan ini hendak menguraikan spektrum pendirian yang ada, kemudian
mengomentari pewajiban CSR dalam UU tersebut.
Apakah tanggung jawab itu bisa dilaksanakan dengan sukarela? Tampaknya
menyatakan bahwa tanggung jawab itu sukarela adalah contradictio in terminis. Yang
“benar”, tentu saja, tanggung jawab itu wajib dilaksanakan. Namun, di antara kubu
CSR itu kewajiban atau kesukarelaan, kini kemenangan ada pada kubu kesukarelaan,
dan perusahaan-perusahaan memang menginginkan kondisi yang demikian.
Tapi kesukarelaan dalam pemahaman yang dipromosikan oleh perusahaanperusahaan
yang berkomitmen CSR tinggi—dan kebanyakan pakar yang
sependapat—bukan berarti perusahaan bisa semaunya saja memilih untuk
menjalankan atau tidak menjalankan tanggung jawabnya atau selektif terhadap
tanggung jawab itu. Yang dimaksud dengan kesukarelaan adalah perusahaan juga
menjalankan tanggung jawab yang tidak diatur oleh regulasi atau beyond regulation.
Jadi, apa yang sudah diatur oleh pemerintah harus dipatuhi dahulu sepenuhnya,
kemudian perusahaan menambahkan lagi hal-hal positif yang tidak diatur. Semakin
banyak hal positif yang dilakukan perusahaan, padahal hal itu tidak diharuskan oleh
pemerintah, maka kinerja CSR perusahaan itu dianggap semakin tinggi.
Di sisi lain, banyak pihak yang tidak percaya bahwa perusahaan akan melakukan halhal
positif apabila tidak diregulasi. Sebetulnya pendirian ini dapat dengan mudah
disangkal, karena ada banyak hal positif yang dilakukan perusahaan walau tidak diatur
oleh pemerintah. Tapi, memang sebagian besar perusahaan memang tidak pernah
mau melakukan hal positif di luar apa yang sudah diatur regulasi. Bahkan, banyak
S
Pada
kenyataannya,
berbagai regulasi
yang mengatur
kinerja sosial dan
lingkungan
perusahaan
adalah berasal
dari upaya kolektif
perusahaan,..........
2
penelitian yang membuktikan bahwa perusahaan memang punya kecenderungan
untuk melanggar regulasi apabila konsekuensinya lebih ringan daripada keuntungan
yang diperoleh bila melanggarnya. Joel Bakan menjadi terkenal karena bisa
membuktikan hal tersebut pada banyak perusahaan raksasa lewat bukunya The
Corporation, the Pathological Pursuit of Profit and Power (2004). Dengan pemahaman yang
demikian, maka banyak pihak yang mendesak agar seluruh tanggung jawab
perusahaan diatur dengan ketat dalam regulasi pemerintah. Pihak-pihak ini juga
mengusulkan penggantian istilah tanggung jawab (responsibility) menjadi tanggung
gugat (accountability).
Di luar dua pendirian itu—yang pertama dikenal dengan self regulation dan yang kedua
disebut government regulation—sebetulnya ada pendirian lain yang masih kurang
popular, yaitu apa yang disebut Jem Bendell dan David Murphy (2002) sebagai civil
regulation. Kalau kedua pendekatan menyerahkan pengaturan CSR pada perusahaan
sendiri atau pemerintah, pendekatan ketiga ini mendukung pembuatan standarstandar
CSR oleh organisasi masyarakat sipil, yang dianggap lebih netral. Untuk bisa
melakukannya, diandaikan organisasi masyarakat sipil cukup memiliki kapasitas untuk
mengawal perusahaan dalam mencapai pembangunan berkelanjutan. Namun,
kualitas terpenting yang ada di mereka adalah tidak adanya konflik kepentingan.
Pada kenyataannya, berbagai regulasi yang mengatur kinerja sosial dan lingkungan
perusahaan adalah berasal dari upaya kolektif perusahaan, kumpulan perusahaan,
pemerintah, organisasi masyarakat sipil dan juga organisasi multilateral. Jadi,
memisahkan ketiga pendekatan sebetulnya juga tidak berbasiskan realitas.
Mendebatkan CSR itu wajib atau sukarela juga perlu penjelasan yang lebih detail
tentang apa yang dimaksud dengan CSR, dan dari sudut pandang mana.
Tulisan ini mengusulkan agar CSR didefinisikan sebagai upaya sungguh-sungguh
entitas bisnis untuk meminimumkan dampak negatif dan memaksimumkan dampak
positif operasi perusahaan terhadap seluruh pemangku kepentingan dalam ranah
ekonomi, sosial dan lingkungan. Dengan demikian, perusahaan wajib mengetahui
dengan mendetail dampak operasinya dalam setiap ranah terhadap semua pemangku
kepentingannya, melihat seluruh regulasi pemerintah yang relevan—lingkungan
hidup, tenaga kerja, dll—sebagai batas kinerja minimum, dan berupaya sedapat
mungkin untuk melampauinya.
Sangat penting disadari bahwa perusahaan hanya memiliki tanggung jawab sebatas
wilayah dampaknya saja (Donna Wood, 1991). Kalau perusahaan mau melakukan di
luar wilayah itu, maka itu adalah upaya untuk melampaui kewajibannya. Upaya
melampaui kewajiban sudah seharusnya tidak diregulasi.
Konsultasi publik yang minim telah menghasilkan banyak keanehan dalam sikap
Panitia Kerja DPR yang menghasilkan UU ini. Sudah jelas bahwa mereka bukanlah
pakar CSR, namun berbagai pernyataan mereka membuktikan bahwa pengetahuan
dasarpun tak mereka kuasai. Setelah tampak cerdas dengan mengubah dasar
perhitungan dana CSR dari keuntungan tahun sebelumnya, serta menyatakan bahwa
CSR dapat menjadi aktivitas yang tax deductible—ini menjadi insentif standar di
banyak negara—dan memasukkan aspek lingkungan sebagai bagian dari CSR,
jawaban mereka atas keberatan para pengusaha tampak ngawur berat. Mereka
menyatakan bahwa kekecualian bisa diberikan pada pengusaha yang tahun
3
sebelumnya merugi, besaran proporsi dana CSR bisa saja diturunkan, serta aspek
lingkungan bisa dihapus dari peraturan.
Dua pernyataan pertama jelas menggambarkan cara pandang after profit atas CSR.
Ketika seluruh pakar sepakat sejak lebih dari 1 dekade lalu bahwa CSR harus menjadi
aktivitas before profit—dan karenanya banyak yang menggunakan istilah corporate social
investment—Panja DPR masih juga menggunakan cara pandang tersebut.
Menghilangkan aspek lingkungan dari CSR adalah kesalahan berat. Sudah lama
konvergensi antara pembangunan berkelanjutan dan CSR terjadi, sehingga CSR
mencakup ranah ekonomi, sosial dan lingkungan. Dalam dunia yang mengalami
banyak masalah lingkungan berat dan rumit, menghilangkan aspek lingkungan dari
CSR—kalau itu dilakukan—adalah dosa kolektif para pengambil keputusannya.
Pernyataan DPR bahwa revisi masih bisa dilakukan kiranya memang perlu dijawab
segera dengan koreksi berdasarkan pengetahuan dasar yang benar tentang CSR. Kita
berharap bahwa CSR benar-benar bisa menjadi dasar keunggulan kompetitif
sebagaimana yang dipreskripsikan oleh Michael Porter dan Mark Kramer (2006),
bukan malahan menyerimpung upaya menuju keunggulan itu



Tidak ada komentar:

Posting Komentar