Organisasi Gerakan Pemuda Lahat Bersatu
Bismillah
Senin, 02 Juli 2012
Senin, 28 Mei 2012
Selasa, 24 April 2012
BEBEN SAPUTRA
MAKSUD DAN TUJUAN ORGANISASI SOSIAL GPLB(Gerakan Pemuda Lahat Bersatu)
1).Membantu pemerintah dalam rangka turut membangun dan mengembangkn otonomi Daerah yang berwawasan Nasional.
2).Mempertinggi tingkat kecerdasan dan kemampuan para anggota dan masyarakat sebagai sumberdaya manusia(SDM)yang handal dengan menyelenggarakan atau mengikut sertakan para anggota dan masyarakat dalam berbagai kegiatan pendidikan Formal dan Non formal, kegiatan pelatihan kerja dan kursus-kursusbaik yang diselenggarakan oleh instasnsi pemerintah maupun swasta.
3).Menyalurkan para angota dan masyarakat sebagai tenaga kerja sesuai dengan jenjang pendidikan dan/atau keahlian ke berbagai Instansi Pemerintah, BUMN,BUMD dan Swasta.
4).meningkatkan pertumbuhan perekonomian para Anggota dan masyarakat melalui berbagai usaha di bidang pertambangan, pertanian, perkebunan, perikannan, pendidikan, kesehatan, tehnologi dan indutri rakyat.
5).Meningkatkan Kwalitas hasil pertanian, perkebunan dan perikannan, dengan mengadakan penangkaran dan pembibitan berbagai macm tanaman dan jenis ikan yang bermutu tinggi.
6).Meningkatkan dan menjaga kelestarian berbagai macam sumber daya alam (SDA) dan Lingkungan hidup.
7).Merningkatkan kesadaran tentang Hukum dan hak Asasi para anggota dan masyarakat dengan memberikan pelayannan jasa Advokasi dan mendampingi para pencari keadilan.
8).Menjadi wadah perserikatan para Buruh.
9).Menampung dan menyalurkan berbagai aspirasi yang timbul dari anggota dan masyarakat kepada Instansi Pemerintah Atau Swasta secara legal, sesuai hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam rangka turut serta membangun dan meningkatkan harkat dan martabat para anggota masyarakat yang adil dan makmur di segala bidang.
10).Merupakan penyelenggara Usaha Ekonomi Produktif.
11).Penyelenggara kegiatan perlombaan Dan Kompetisi di berbagai bidang.
Jumat, 23 Maret 2012
Pernyataan Presiden RI
JAKARTA - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) meminta dana Corporate Social Responsibility (CSR) di Badan Usaha Milik Negara (BUMN) digunakan untuk mengurangi kemiskinan di Indonesia.
"Saya dapatkan penjelasan dari menteri BUMN bahwa CSR dari jajaran BUMN itu besar. Oleh karena itu pastikan bahwa penggunaan CSR ini tepat dan saya ingin CSR ini lebih banyak digunakan tentu bersama-sama dengan pemerintah dan pihak lain untuk mengurangi kemiskinan masyarakat kita," ujar Presiden SBY dalam rapat kabinet di kantornya Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta, Rabu (8/2/2012).
Presiden berharap, dengan dana CSR tersebut banyak hal yang bisa dibagikan kepada penduduk lokal. Selain itu, sambung presiden, BUMN juga harus memberikan contoh dalam green economy dan green growth.
"Dengan demikian tidak ada yang dilalaikan. Kalau BUMN bisa memberi contoh, tentu swasta dan pihak-pihak lain tentu juga tidak akan careless pada pemeliharaan lingkungan yang ada di negeri kita," tutupnya. (wdi)
"Saya dapatkan penjelasan dari menteri BUMN bahwa CSR dari jajaran BUMN itu besar. Oleh karena itu pastikan bahwa penggunaan CSR ini tepat dan saya ingin CSR ini lebih banyak digunakan tentu bersama-sama dengan pemerintah dan pihak lain untuk mengurangi kemiskinan masyarakat kita," ujar Presiden SBY dalam rapat kabinet di kantornya Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta, Rabu (8/2/2012).
Presiden berharap, dengan dana CSR tersebut banyak hal yang bisa dibagikan kepada penduduk lokal. Selain itu, sambung presiden, BUMN juga harus memberikan contoh dalam green economy dan green growth.
"Dengan demikian tidak ada yang dilalaikan. Kalau BUMN bisa memberi contoh, tentu swasta dan pihak-pihak lain tentu juga tidak akan careless pada pemeliharaan lingkungan yang ada di negeri kita," tutupnya. (wdi)
CSR Harus tepat pada sasaran
Penggunaan Dana CSR Harus Tepat Sasaran
2011-07-28 11:18:00
108CSR.com - 'CSR Harus Tepat Sasaran�, itulah kalimat yang pertama kali diucapkan Rika Yudani, seorang praktisi muda di bidang CSR yang ditemui tim 108CSR.com, di Jakarta, belum lama ini.
Rika mengatakan CSR (corporate social responsibility) atau tanggung jawab sosial perusahaan yang di masukan ke dalam salah satu undang-undang Penanganan Fakir Miskin akhir-akhir ini menjadi sebuah isu yang menarik perhatian di kalangan pebisnis nasional maupun mulitinasional. Pasalnya, UU ini juga memuat perubahan paradigma baru dalam penggunaan dana CSR yang lebih mengarah kepada sebatas tuntutan tanggung jawab sosial dunia usaha.
Padahal, mewajibkan pelaksanaan CSR seakan memisahkan CSR dari esensinya, yaitu Voluntary. The World Business Council for Sustainable Development mendefinisikan CSR sebagai � The cotinuing commitment by business to behave ethically and contribute to economic development while improvingthe quality of life of the workforce and their families as well as of the local community and society at large�. Artinya, pelaksanaan CSR merupakan murni komitmen perusahan untuk bertindak etis, dan tidak bisa diwajibkan.
�Ini yang membuat kalangan praktisi dan perusahan mempermasalahkan status wajib CSR. Bahkan, kewajiban atas setoran dana CSR dapat dikatagorikan sebagai bentuk �abuse of power� dan menyalahi konsep yang berlaku secara internasional. "Karena faktanya, Indonesia adalah salah satu-satunya negara yang mewajibkan pelaksanaan CSR,� ujar Rika yang juga bekerja sebagai Research Executive di EC-Think Corp.
Menurut Putri kelahiran Yogyakarta ini, sebetulnya pelaksanaan CSR sendiri tidak perlu diwajibkan tetapi harus tepat sasaran. Permasalahnnya, hingga saat ini belum ada database yang lengkap tentang implemantasi program-program CSR di seluruh wilayah Indonesia.
Ia memaparkan, bahwa tepat sasaran di dalam arti penyaluran dana CSR dapat mengadopsi konsep koridor ekonomi dalam MP3EI, yaitu berupa pemetaan wilayah kemiskinan yang belum tersentuh, sehingga penanganannya dapat lebih fokus dan terukur.
Rika menjelaskan di dalam MP3EI terdapat masterplan yang sudah tercantum potensi masing-masing wilayah. Program CSR, seperti dukungan pada enterpreunership, dapat difokuskan untuk memperkuat potensi wilayah, sehingga output-nya lebih maksimal.
Adapun masing-masing koridor tersebut sebagai berikut, koridor pertama, wilayah Sumatera memiliki tema pembangunan sebagai sentra produksi dan pengolahan hasil bumi serta lumbung energi Nasional.
Koridor kedua, wilayah Jawa memiliki tema pembangunan sebagai pendorong industri dan jasa Nasional. Selanjutnya koridor ketiga, wilayah Kalimantan memiliki tema pembangunan sebagai pusat produksi dan pengolahan hasil tambang & lumbung Energi Nasional.
Koridor keempat, wilayah Sulawesi memiliki tema pembangunan sebagai pusat produksi dan pengolahan hasil pertanian, perkebunan, perikanan, migas dan pertambangan Nasional. Koridor ke enam, Bali � Nusa Tenggara memiliki tema pembangunan sebagai pintu gerbang pariwisata dan pendukung pangan Nasional dan koridor ke tujuh adalah Papua � Kepulauan Maluku memiliki tema pembangunan sebagai pusat pengembangan pangan, perikanan, energi, dan Pertambangan Nasional.
Dalam kesempatan itu, Mahasiswi Magister Management CSR Universitas Trisakti ini, juga mempertanyakan �Keinginan� pemerintah melabeli alokasi CSR sebagai kewajiban.
Dikatakannya, dua peraturan perundang-undangan RI sebelumnya sudah menekankan secara ekplisit kewajiban pelaksanaan CSR kepada perusahaan, pertama yaitu UU No 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dengan Pasal 15-nya yang menyebutkan bahwa setiap Penanaman Modal berkewajiban untuk (a) menerapkan tata kelola perusahaan yang baik, (b) melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan.
Dan kedua, UU No 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, yang dalam Pasal 74 (1) mengatakan bahwa Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan.
�Bagaiman pemerintah akan mempertanggung jawabkan UU Pasal 34, bahwa fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara, komitmen pelaksanaan CSR dari perusahan tentu saja tidak dapat melepaskan pemerintah dari kewajiban itu bukan,� ujarnya lagi.
Ditegaskanya, pencantuman kewajiban dana CSR dalam aturan hukum justru akan mereduksi niat baik dan komitmen berkelanjutan dari pelaku usaha, dikhawatirkan pelaksanaan CSR hanya akan dimaknai terbatas dan berdasarkan jumlah nominal saja.
�Perusahan pun dikhawatirkan dapat menggunakan aturan ini sebagai legitimasi pelaksanaan CSR meraka, tanpa adanya upaya lebih jauh berkontribusi secara berkelanjutan baik secara ekonomi, sosial dan lingkungan,� tuturnya mengakhiri. (ard/lni)
Perusahaan yang wajib CSR
Perusahaan Sekelas Apakah yang Berkewajiban Mengeluarkan Dana CSR
Rabu, 02 November 2011 16:24 WIB
Tanya:
Bapak Rizky Wisnoentoro yang terhormat, saya ingin tahu tentang kewajiban CSR dari sebuah perusahaan. Pertanyaannya adalah:
Bapak Rizky Wisnoentoro yang terhormat, saya ingin tahu tentang kewajiban CSR dari sebuah perusahaan. Pertanyaannya adalah:
- Perusahaan kelas apa yang berkewajiban mengeluarkan dana csr.
- Jika ada perusahaan skala menengah bawah tapi mengekploitasi alam besar-besaran bahkan cenderung merusak misal penggalian pasir, penggalian batu kapur dll, apakah juga wajib mengeluarkan dana csr?"
Terimakasih
(Suratmi - Depok)
Jawab:
Assalamu'alaikum,
Assalamu'alaikum,
Ibu Suratmi yang budiman.
Terima kasih untuk pertanyaannya yang cerdas. Secara umum, menurut
hemat saya, perusahaan seperti yang dicontohkan dalam pertanyaan
tersebut wajib melakukan CSR. Lebih lanjut lagi, ada beberapa topik
penting dari pertanyaan ini yang dapat kita bedah:
1). "Perusahaan berkewajiban melakukan CSR".
Ini adalah poin diskusi yang cukup menarik dan tak akan ada habisnya.
Di tataran legal, Undang-Undang No. 40/2007 tentang Perseroan Terbatas
(Pasal 74) mewajibkan perusahaan di Indonesia untuk melakukan CSR. Lebih
khususlagi, dalam ayat 1 Undang Undang tersebut, disebutkan bahwa
perseroanyang menjalankan usahanya di bidang dan atau berkaitan
dengansumberdaya alam, dikenai kewajiban untuk melaksanakan kegiatan
tanggung jawab sosial perusahaan dan lingkungan.
Dalam pertanyaan dicontohkan perusahaan yang aktivitasnya melakukan
penggalian pasir, batu kapur, dll. Menurut Undang-Undang, mereka wajib
untuk melakukan CSR. Nah, permasalahannya kemudian adalah, "lalu
bagaimana dengan yang lain? Apakah CSR hanya terbatas untuk perusahaan
yang terkait sumberdaya alam saja?" Di titik ini, kita tidak dapat hanya
bersandar pada undang-undang semata. Marilah kita berpijak pada urgensi
dan manfaat dari CSR itu sendiri. Seperti pernah didiskusikan
sebelumnya, tanpa harus diwajibkan pun, pada dasarnya perusahaan
membutuhkan CSR. Mereka yang telah sadar akan pentingnya reputasi tak
akan lagi berpikir untuk menjalankan CSR sebatas untuk memenuhi
peraturan. Karena salah satu manfaat utama dari CSR ialah bahwa ia
berpotensi untuk menjadi solusi bagi permasalahan yang kerap terjadi
dalam hubungan antara perusahaan dengan publiknya: ketidakmampuan untuk
saling memahami dan menerima. Permasalahan ini mengakibatkan macetnya
relung interaksi antara perusahaan dengan publiknya.
Alhasil, terjadi segregasi yang ditandai oleh penolakan publik. Di
titik inilah CSR berperan menjadi jembatan antara perusahaan dengan
stakeholder di sekitarnya. Penerapan program yang baik akan menimbulkan
keterkaitan yang konstruktif antara perusahaan dengan lingkungan. Hal
ini dapat menjadi trigger bagi publik untuk memiliki persepsi yang baik
terhadap perusahaan. Dengan demikian, emotional appeal dari publik akan
mengarah pada pembangunan reputasi yang baik terhadap perusahaan itu
sendiri. Sebaliknya, publik pun mendapat bantuan yang 'sincere' atau
tulus dari perusahaan. Nah, di sinilah uniknya CSR. Publik kini cukup
cerdas untuk menyeleksi program-program artifisial yang hanya mengharap
pamrih semata.
Ketidakseriusan dalam menggarap program CSR justru akan melahirkan
resistensi masyarakat. Apalagi jika perusahaan dinilai tidak transparan,
atau justru program tersebut malah merusak tatanan pranata sosial
maupun lingkungan yang ada. Alih-alih mendapatkan nama baik, perusahaan
justru harus menelan pil pahit dari programnya itu. Alhasil, dana pun
terbuang mubazir tanpa membawa manfaat dan maslahat.
2) "Perusahaan dalam kelas apa yang wajib ber CSR?".
Ini satu lagi poin cerdas dari pertanyaan ini. Dalam pemahaman saya,
tidak ada batasan yang rigid mengenai perusahaan di kelas apakah yang
harus ber CSR. Tetapi kalau kita melihat esensi pada poin pertama di
atas, seyogianya setiap perusahaan yang telah memiliki laba, menerapkan
program CSR. Nah, di titik ini marilah kita sedikit menerawang lebih
luas, bahwa program CSR tidak melulu hanya ditujukan pada publik
eksternal dari perusahaan. Lingkungan internal pun perlu mendapat
perhatian.
Pelayanan child care untuk karyawati yang menyusui, misalnya, dapat
menjadi sebuah contoh sederhana untuk program CSR secara internal.
Program motivasi karyawan untuk bekerja sesuai dengan rambu-rambu etis,
dalam konteks tertentu juga dapat dijadikan sebagai alternatif program
CSR. Atau, kampanye 'go green' di dalam lingkungan kantor, dapat pula
menjadi alternatif program CSR. Dengan demikian, semestinya tidak ada
alasan bagi perusahaan untuk tidak ber CSR.
Perusahaan dengan laba yang masih terbilang minim, misalnya, dapat
memulai dengan program kreatif yang sederhana tetapi serius. Menurut
hemat saya, terlepas dari besar kecilnya dana, tantangan yang terpenting
adalah komitmen dalam menggarap program itu sendiri. Sehingga, tak
tertutup kemungkinan bahwa program dengan dana terbatas pun dapat
menghasilkan kualitas lebih baik dibandingkan program dengan kucuran
dana besar tetapi tidak dilakukan dengan monitoring yang serius.
3) "Perusahaan yang mengeksploitasi & merusak".
Nah, izinkan saya untuk berpendapat bahwa perusahaan yang semacam ini
tak hanya wajib melakukan CSR, tetapi justru wajib untuk melakukan
introspeksi diri atas praktek bisnis yang mereka lakukan. Karena praktek
seperti ini justru menempatkan mereka dalam posisi yang sangat rentan
untuk terancam oleh berbagai bentuk risiko, termasuk risiko reputasi.
Dalam pemahaman saya, perusahaan yang baik boleh jadi mementingkan
proses memproduksi barang / jasa, lalu mendapatkan keuntungan dari
produksinya itu.
Namun perusahaan yang bajik akan melakukan lebih dari itu. Mereka
tidak hanya sekedar meraih laba, tetapi juga menunjukkan komitmen yang
baik terhadap stakeholder di sekitarnya, internal maupun eksternal,
serta lingkungan hidup tempat mereka berdiam. Saya angkat topi terhadap
perusahaan seperti ini. Mereka tidak hanya mementingkan profit jangka
pendek, tetapi juga menunjukkan komitmen untuk melanjutkan usahanya di
jangka panjang. Perusahaan seperti ini telah menyadari bahwa dirinya
adalah bagian dari keseluruhan bangunan sosial yang ada di daerah
tersebut.
Dengan memberikan perhatian serius pada lingkungan, maka berarti
mereka telah melakukan investasi terpenting bagi keberlangsungan bisnis
ke depan. Ketika mereka berbagi pada lingkungan internal, akan tumbuh
'admiration' dari karyawan. Di saat krisis, justru hal ini akan menolong
perusahaan. Karyawan yang kagum dan loyal dengan perusahaannya, tentu
tak akan sungkan untuk membela nama baik dari tempatnya mencari nafkah
hidup. Demikian pula dengan lingkungan sosial di luar perusahaan.
Pemberian dan pendampingan yang tulus dari perusahaan
merepresentasikan wujud syukur serta rasa terima kasih perusahaan
setelah mendapat rejeki. Publik yang menerima program yang tulus
tersebut tentu tak akan sungkan untuk menerima kehadiran dari perusahaan
tersebut. Bahkan tak jarang, justru mereka membantu kebutuhan
perusahaan. Sebaliknya, perusahaan yang dinilai 'arogan', atau bahkan
merusak, justru berpotensi untuk menerima penolakan publik. Oleh karena
itu, menurut hemat saya, bertanggung jawab secara ekonomi ataupun hukum
(legal) tidaklah cukup bagi perusahaan.
Dengan kata lain, saat ini kualitas perusahaan tak hanya dinilai dari
sekedar kemampuannya menggaji karyawan serta taat hukum semata. Lebih
dari itu, kualitas perusahaan akan diuji dari kebajikannya dalam
menerapkan praktek bisnis yang etis dan menunjukkan kecintaan pada
sesama manusia serta pada lingkungan tempatnya berdiam.
CSR
Pewajiban CSR dalam Undang-Undang Perseroan
Terbatas
etelah berita Departemen Sosial hendak meregulasi CSR (corporate social
responsibility atau tanggung jawab sosial perusahaan) muncul di media massa
beberapa minggu lalu, tindakan yang lebih nyata ditunjukkan oleh DPR terlebih
dahulu. Di akhir minggu terakhir Juni mereka menyetujui sinkronisasi UU Perseroan
Terbatas yang di dalamnya terdapat aturan mengenai CSR. Walau UU itu tidak
menyatakan besaran sisihan dana yang diwajibkan, segera saja reaksi dari dunia usaha
muncul. Para pengusaha, yang diwakili KADIN menyatakan bahwa CSR seharusnya
bersifat kesukarelaan, bukan kewajiban. Pendirian tersebut memang merupakan
pendirian arus utama hingga sekarang, namun bukan satu-satunya pendirian yang
ada. Tulisan ini hendak menguraikan spektrum pendirian yang ada, kemudian
mengomentari pewajiban CSR dalam UU tersebut.
Apakah tanggung jawab itu bisa dilaksanakan dengan sukarela? Tampaknya
menyatakan bahwa tanggung jawab itu sukarela adalah contradictio in terminis. Yang
“benar”, tentu saja, tanggung jawab itu wajib dilaksanakan. Namun, di antara kubu
CSR itu kewajiban atau kesukarelaan, kini kemenangan ada pada kubu kesukarelaan,
dan perusahaan-perusahaan memang menginginkan kondisi yang demikian.
Tapi kesukarelaan dalam pemahaman yang dipromosikan oleh perusahaanperusahaan
yang berkomitmen CSR tinggi—dan kebanyakan pakar yang
sependapat—bukan berarti perusahaan bisa semaunya saja memilih untuk
menjalankan atau tidak menjalankan tanggung jawabnya atau selektif terhadap
tanggung jawab itu. Yang dimaksud dengan kesukarelaan adalah perusahaan juga
menjalankan tanggung jawab yang tidak diatur oleh regulasi atau beyond regulation.
Jadi, apa yang sudah diatur oleh pemerintah harus dipatuhi dahulu sepenuhnya,
kemudian perusahaan menambahkan lagi hal-hal positif yang tidak diatur. Semakin
banyak hal positif yang dilakukan perusahaan, padahal hal itu tidak diharuskan oleh
pemerintah, maka kinerja CSR perusahaan itu dianggap semakin tinggi.
Di sisi lain, banyak pihak yang tidak percaya bahwa perusahaan akan melakukan halhal
positif apabila tidak diregulasi. Sebetulnya pendirian ini dapat dengan mudah
disangkal, karena ada banyak hal positif yang dilakukan perusahaan walau tidak diatur
oleh pemerintah. Tapi, memang sebagian besar perusahaan memang tidak pernah
mau melakukan hal positif di luar apa yang sudah diatur regulasi. Bahkan, banyak
S
Pada
kenyataannya,
berbagai regulasi
yang mengatur
kinerja sosial dan
lingkungan
perusahaan
adalah berasal
dari upaya kolektif
perusahaan,..........
2
penelitian yang membuktikan bahwa perusahaan memang punya kecenderungan
untuk melanggar regulasi apabila konsekuensinya lebih ringan daripada keuntungan
yang diperoleh bila melanggarnya. Joel Bakan menjadi terkenal karena bisa
membuktikan hal tersebut pada banyak perusahaan raksasa lewat bukunya The
Corporation, the Pathological Pursuit of Profit and Power (2004). Dengan pemahaman yang
demikian, maka banyak pihak yang mendesak agar seluruh tanggung jawab
perusahaan diatur dengan ketat dalam regulasi pemerintah. Pihak-pihak ini juga
mengusulkan penggantian istilah tanggung jawab (responsibility) menjadi tanggung
gugat (accountability).
Di luar dua pendirian itu—yang pertama dikenal dengan self regulation dan yang kedua
disebut government regulation—sebetulnya ada pendirian lain yang masih kurang
popular, yaitu apa yang disebut Jem Bendell dan David Murphy (2002) sebagai civil
regulation. Kalau kedua pendekatan menyerahkan pengaturan CSR pada perusahaan
sendiri atau pemerintah, pendekatan ketiga ini mendukung pembuatan standarstandar
CSR oleh organisasi masyarakat sipil, yang dianggap lebih netral. Untuk bisa
melakukannya, diandaikan organisasi masyarakat sipil cukup memiliki kapasitas untuk
mengawal perusahaan dalam mencapai pembangunan berkelanjutan. Namun,
kualitas terpenting yang ada di mereka adalah tidak adanya konflik kepentingan.
Pada kenyataannya, berbagai regulasi yang mengatur kinerja sosial dan lingkungan
perusahaan adalah berasal dari upaya kolektif perusahaan, kumpulan perusahaan,
pemerintah, organisasi masyarakat sipil dan juga organisasi multilateral. Jadi,
memisahkan ketiga pendekatan sebetulnya juga tidak berbasiskan realitas.
Mendebatkan CSR itu wajib atau sukarela juga perlu penjelasan yang lebih detail
tentang apa yang dimaksud dengan CSR, dan dari sudut pandang mana.
Tulisan ini mengusulkan agar CSR didefinisikan sebagai upaya sungguh-sungguh
entitas bisnis untuk meminimumkan dampak negatif dan memaksimumkan dampak
positif operasi perusahaan terhadap seluruh pemangku kepentingan dalam ranah
ekonomi, sosial dan lingkungan. Dengan demikian, perusahaan wajib mengetahui
dengan mendetail dampak operasinya dalam setiap ranah terhadap semua pemangku
kepentingannya, melihat seluruh regulasi pemerintah yang relevan—lingkungan
hidup, tenaga kerja, dll—sebagai batas kinerja minimum, dan berupaya sedapat
mungkin untuk melampauinya.
Sangat penting disadari bahwa perusahaan hanya memiliki tanggung jawab sebatas
wilayah dampaknya saja (Donna Wood, 1991). Kalau perusahaan mau melakukan di
luar wilayah itu, maka itu adalah upaya untuk melampaui kewajibannya. Upaya
melampaui kewajiban sudah seharusnya tidak diregulasi.
Konsultasi publik yang minim telah menghasilkan banyak keanehan dalam sikap
Panitia Kerja DPR yang menghasilkan UU ini. Sudah jelas bahwa mereka bukanlah
pakar CSR, namun berbagai pernyataan mereka membuktikan bahwa pengetahuan
dasarpun tak mereka kuasai. Setelah tampak cerdas dengan mengubah dasar
perhitungan dana CSR dari keuntungan tahun sebelumnya, serta menyatakan bahwa
CSR dapat menjadi aktivitas yang tax deductible—ini menjadi insentif standar di
banyak negara—dan memasukkan aspek lingkungan sebagai bagian dari CSR,
jawaban mereka atas keberatan para pengusaha tampak ngawur berat. Mereka
menyatakan bahwa kekecualian bisa diberikan pada pengusaha yang tahun
3
sebelumnya merugi, besaran proporsi dana CSR bisa saja diturunkan, serta aspek
lingkungan bisa dihapus dari peraturan.
Dua pernyataan pertama jelas menggambarkan cara pandang after profit atas CSR.
Ketika seluruh pakar sepakat sejak lebih dari 1 dekade lalu bahwa CSR harus menjadi
aktivitas before profit—dan karenanya banyak yang menggunakan istilah corporate social
investment—Panja DPR masih juga menggunakan cara pandang tersebut.
Menghilangkan aspek lingkungan dari CSR adalah kesalahan berat. Sudah lama
konvergensi antara pembangunan berkelanjutan dan CSR terjadi, sehingga CSR
mencakup ranah ekonomi, sosial dan lingkungan. Dalam dunia yang mengalami
banyak masalah lingkungan berat dan rumit, menghilangkan aspek lingkungan dari
CSR—kalau itu dilakukan—adalah dosa kolektif para pengambil keputusannya.
Pernyataan DPR bahwa revisi masih bisa dilakukan kiranya memang perlu dijawab
segera dengan koreksi berdasarkan pengetahuan dasar yang benar tentang CSR. Kita
berharap bahwa CSR benar-benar bisa menjadi dasar keunggulan kompetitif
sebagaimana yang dipreskripsikan oleh Michael Porter dan Mark Kramer (2006),
bukan malahan menyerimpung upaya menuju keunggulan itu
Langganan:
Postingan (Atom)